Mula-mula: Tentang Matimuda

“Jika hidup ibarat bekerja, kapan hari liburnya?” lalu lahirlah Matimuda. Seperti lelucon memang, sayang kelihatannya agak nggak nyambung. Perihal mana yang menyatukan isyarat istirahat(1) dan Matimuda dalam satu tautan?

Bisa jadi awalnya seperti gatal. Gatal di tangan gatal di kaki gatal di kepala gatal di hati. Dan klise sudah, gatal ya digaruk. Lalu sekejap muncul perasaan yang mungkin dirasakan Archimides ketika berucap “Eureka!”, bedanya waktu itu saya hanya menemukan tangan, kaki, kepala dan hati saya. Ah, mungkin jika Tuhan tak mencipta gatal bisa jadi manusia tak menyadari ia dipinjami piranti. Tuhan memang ajaib. Manusia bisa mati – tidak menyadari (keber-ada-an) diri. Sedang mereka dibebaskan memilih: mencari cara untuk hidup kembali atau diam sama sekali.

Dalam tataran simbol mati bisa saja dialihmaknakan sebagai buta hati dan mata tuli. Ia adalah gambaran dari gambaran. Ia hadir sebagai wakil. Mewakili makna dengan makna. Hanya saja kali ini ia disertai rupa: Matimuda. Meski begitu ia tetap bermaknakan sesuatu yang lowong, kosong karena hilang isi. Bucal. Mati. Ya, Matimuda memang lekat dengan kematian. Kematian (batin) yang mengawali dan kematian (nyawa) yang diharapkan.

Hanya pengecut yang mengharap mati. Saya pernah mendengar seseorang berkata demikian, dengan analogi bahwa satu-satunya cara untuk meluluskan keinginan mati hanyalah dengan bunuh diri. Sebagai pilihan, kematian jadi berbeda-beda hanya karena soal cara(2). Targetnya nyata: mati, selesai perkara.

Kematian itu niscaya. Mau tak mau saya mesti mengakui ia benar. Hanya kepengecutan yang menyebabkan makna Matimuda menyublim jadi sekedar nama blog. Itu pun blog personal yang biasa-biasa saja. Blog yang memuat rengek keluhan sebelum tidur. Hanya saja bukan di situ poinnya.

Jadi saya nggak bilang bahwa alasan kenapa saya masih hidup hingga hari ini adalah karena ‘hidup terlalu indah untuk dilewatkan’(3) – atau pikiran-pikiran manipulatif lain yang serupa itu. Keindahan menjadi relatif karena manusia mengindera dan mengapresiasikan sesuatu berdasar persepsi. Ia adalah sesuatu yang absurd.

Menjadi sadar bukan dikarenakan adanya keharusan: konsekwensi menjadi makhluk adalah menghargai kehebatan Tuhan dalam mencipta. Bukan pada soal keanekaragaman bentuk lalu warna menjadi krusial. Melainkan lebih pada pemaknaan bahwa ‘tanpa cahaya warna bukan siapa-siapa’ karena kondisi tanpa cahaya menyebabkan bentuk tak tertangkap mata. Kesadaran bagi saya adalah sejauh mana kemampuan melihat dan mengidentifikasi objek dalam kondisi tanpa cahaya. Tak lain karena setiap manusia terlahir buta.

Ya, itu proses, bisa dibilang setiap manusia adalah ilmuwan dengan kehidupannya sendiri sebagai objek eksperimennya. Menariknya hidup karena di dalamnya tersimpan pilihan. Kesadaran juga bukan soal imbalan apa yang diperoleh nantinya, di depan sana tak ada surga. Surga hanya fatamorgana.

Menilik pertanyaan di awal tadi, kenyataannya saat ini saya memang mengharap hari libur. Jeda yang mutlak saya perlukan karena manipulasi tak lagi mempan mengaburkan kenyataan. Dan Matimuda lalu meng-ada jadi persinggahan (walau tak sepenuhnya sekedar persinggahan). Seperti mogadon, untuk mengobati kejenuhan atas dunia nyata yang omni identitas.

Matimuda adalah jeda namun bukan koma. Garis yang belum saya tentukan di mana hentinya karena kematian yang sebenarnya bisa datang kapan saja. Ia tak perlu huruf dan kosakata untuk menyublimkannya sehingga mampu dieja karena ia memang lahir begitu saja.


------
(1) Meminjam istilah yang digunakan eL di dangauilalang
(2) Mengadopsi kuotasi “Death is always the same, but each man dies in his own way.”
Clock Without Hands | Carson McCullers
(3) “We live in a beautiful world..” Don’t Panic | Coldplay