tag:blogger.com,1999:blog-30407538006304575772024-02-21T00:07:36.019+07:00Immunatgaris yang belum saya tentukan di mana hentinya karena kematian yang sebenarnya bisa datang kapan saja.Unknownnoreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-3040753800630457577.post-24006609620764933602009-12-28T11:38:00.008+07:002009-12-28T12:51:56.430+07:00Solilokui Paruh Desember<p style="text-align:justify;"><span style="line-height: 1.5em;"><blockquote><span style="font-style:italic;">Life is one long process of getting tired.</span><br /><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Samuel_Butler_(novelist)">Samuel Butler</a></blockquote><br /><br />: untuk kawan baik.<br /><br />Berbulan sudah sejak terakhir kita bertemu. Lewat surat atau apalah, asal kabarku dapat kau baca dan selama kita dapat saling bertukar, itu tak apa. Aku masih ingat katamu ketika aku mesti pergi meninggalkan Solo menuju barat, bahwa karib akan selamanya menjadi karib, meski ada jarak ada rintang, semua bukan persoalan. Persoalan hanyalah anggapan yang sebenarnya tak benar ada. Menjadi nyata karena beda. Menjadi runcing karena terlalu sering didebatkan di mana letak keberbedaannya.<br /><br />Kamu bilang manusia akan semakin lekat dengan sendiri seiring usianya bertambah. Seperti kutukan tiap manusia dipaksa mesti dewasa. Tunduk pada waktu, sekaligus memimpikan waktu di luar masa di mana ia mestinya terlibat. Seperti ketika kecil aku ingin menjadi seperti ayahku atau kamu yang ingin seperti ibumu, dan apakah kau dapat yakin ketika tua kita tak memimpikan masa muda? Menghitung-hitung berapa kesempatan yang sudah terlewat. Mestinya waktu itu aku, mestinya waktu itu tak seperti itu.<br /><br />Cuma kamu yang bilang tak sepatutnya kita merasa sebagai korban. Tak setiap hal berjalan linier sesuai kendali dan ekspektasi bisa saja meleset jauh dari kenyataan. Persoalannya adalah apa yang mesti dilakukan setelah itu, yaa, seperti kemarin kita berbincang rencana apa di tahun berikut. Apapun itu, apapun yang sudah terjadi hingga hari ini, bersemangatlah, mari tersenyum dan semoga kita masih dapat menghirup udara bulan Januari. Hidup yang ringan. Menyenangkan, bukan?<br /><br />Kadang ketika mengenang itu aku berpikir, jika hidup ibarat tamasya maka kita bepergian ke arah mana. Ia mestinya punya tujuan, dan kita: yang merencanakan, mestinya mengayuh penuh tekad demi apa yang kita tuju. Walau kalau dipikir ketika mata dan laku hanya tertambat pada satu titik berapa banyak sudah yang dikorbankan? Tak terbayangkan, mungkin. Pilihanlah yang kadang membuat segalanya tampak rumit, walau kadang sebaliknya. Lagipula, kamu hanya perlu memilih. Selebihnya biarkan akibat bekerja. Resiko ada semutlak hubungan manusia dengan O<span style="font-size:8px;">2</span>. Kamu cuma perlu tahu apa saja konsekuensinya. Kuasa perusahaan asuransi tak melingkupi hingga sedetil ini, bukan?<br /><br />Haha, mestinya aku menyebut rencanamu juga ya? Menjadi guru, terutama bagi anak-anak asuhmu. Walau aku paham betul kamu bukan tipe orang yang tinggal diam melihat kondisi pendidikan di Indonesia sekarang, namun mimpi itu, masihkah? Bagiku itu mulia, dan tak banyak orang memimpikan sesuatu semulia itu. Kita bukan korban peradaban. Ya, kita bukan korban. Meski sepertinya aku mesti mengganti pendapatku yang pernah kulontarkan kepadamu satu waktu. Ternyata hidup tak sama dengan cuaca: yang dapat, namun sulit ditebak. Hidup tak dapat ditebak.<br /><br />Masih ingatkah kamu perihal konsepsi tentang korban yang pernah kita bicarakan? Bahwa manusia adalah sekedar korban, dikutuk untuk hidup, bebas namun terpenjara oleh waktu yang gerogoti tubuh, digerogoti ingatan akan waktu yang bersenyawa dengan peristiwa. Aku cuma tertawa mengenangnya. Lihat, bahkan ketika akhirnya peristiwa menyublim kenangan ia melebur menjadi memorabilia. Barisan kata-kata dan imaji dalam kepala. Seperti kamu, aku tak mempunyai kata yang tepat untuk mengganti kata ‘mengetahui’, karena toh sebanyak apapun kita mengetahui itu tak lebih sebagai proses pencarian dan lalu menemukan sesuatu dalam memori.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Memori tak punya denyut, ia tak punya rasa meski melibatkan rasa. Ingatan adalah ingatan, kita mesti menyisakan kekinian untuk mengenangnya.</span><br /><br />Nah, bisa dibilang aku tak ingin menjadikan kesendirian akutku sebagai alasan untuk menghubungimu lagi. Terserah kau bilang aku terlalu angkuh atau apa, bahkan sekedar untuk mengakui. Pernah terakhir kamu menanggapi marahku hanya dengan satu kalimat tanya: jadi ini hanya soal harga diri? Mungkin, namun bisa saja bukan. Cuma saat ini aku sedang tak ingin terlalu berterus terang.<br /><br />Tidak sayang, tidak. Maaf sudah membuatmu tak terlibat dalam hidupku terlalu lama karena mestinya aku melibatkanmu juga. Ya, meski kita sekedar dua beda yang berpapasan (dan lalu pernah beriringan) di satu jalan, kamu selalu berarti. Kamu akan selalu berarti. Dan keberartian bagiku sebenarnya simpel, aku mengingatmu sebagai seseorang yang mau terkapar di sampingku berbagi kopi berdiskusi hingga pagi. Hingga kita berdua tak ubahnya seperti dua suara parau tertawa-tawa karena pekat gemulung asap. Ketahuilah temanku, di setiap perbincangan semacam itu banyak kalimatmu yang selalu aku iyakan. Kamu tahu aku memang tak banyak belajar. <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Forgetting">Memoriku pendek</a>. Dan kamu hampir terdengar selalu benar. Di situlah kamu berada. Tak terlalu keren, memang, tapi sebagai substansi, di hidupku kamu memang hampir selalu ada. Terlibat sebagai bayang. Ketika tubuhmu tak ada, kamu memang tak ada, namun ya, kamu ada.<br /><br />Lagipula aku tak ingin terdengar terlalu mengiba. Ironi keputusasaan a la <a href="http://turningblack.blogspot.com/2008/06/mula-mula-tentang-matimuda.html">Matimuda</a> yang membilang bahwa ‘mati adalah soal cara’. Aku tak peduli prosesi matiku tak sekeren lelaki yang berjalan lurus menuju samudera, <a href="http://www.myspace.com/thepolyesterembassy">Polyester Embassy</a> di telinganya, mati dengan takzim karena memang telah pungkas: hidup yang terlalu ramai tak perlu dirayakan karena toh di satu waktu setiap orang akan menemui ajal. Yang penting adalah masa sekarang: bermanfaatkah?<br /><br />Dan di antara deru kereta ekonomi menuju Jakarta di pertengahan Desember ini tubuhku bergetar. Malam gelap sudah. Ramai memang, namun sebingar apapun suara akan selalu terdengar sunyi bagi hati yang masih memiliki terlalu banyak ruang untuk kenangan. Dan bermasalah dengan kenangan itu menjengkelkan. Jika saja kenangan terbuat dari api, seperti katamu, tinggal guyur air maka mati. Sayang tak semudah itu.<br /><br />Ah, sudahlah. Yang penting beberapa saat ke depan kamu dapat mengeja senyumku. Tak lagi meraba dalam mimpi seperti kemarin ketika jarak memaksa kita menghirup udara yang berbeda. Sejauh dan sebanyak apa aku bicara sekarang, ah, kau sudah menebakku begitu tepat karena memang begitu adanya. Seperti sms-mu beberapa hari lalu: “aku cuma butuh teman bicara.”<br /><br />Ya, aku butuh teman bicara. Yang sebenar teman bicara. Ternyata kita sama.<br /><br />Ah! Aku tak sabar. Kawan, sampai jumpa!<br /></span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3040753800630457577.post-61985082476349713162008-11-30T03:09:00.003+07:002008-12-16T03:43:55.226+07:00Warna // Cahaya<p style="text-align: justify;">Jika kita tak mengenal cahaya maka kita tak mengenal warna. Jika kita tak mengenal warna maka kita tak mengenal rupa. Warna dan cahaya menulis bidang sehingga mata mampu membacanya. Tanpa cahaya dan warna kita tak mampu mengalami ruang sebagai bidang dimensional yang memiliki <span style="font-style:italic;">volume</span>, begitu juga yang terjadi jika kita tak memiliki mata, buta.<br /><br />Ya, sepertinya saat ini aku buta. Seperti halnya selama ini ternyata aku buta.<br /><br />---------<br /><br />Itulah yang kupikirkan setelah membaca suratmu – yang lalu ku simpan untuk ku baca lagi kemudian karena aku masih berekspektasi bahwa anggapanku salah. Rasanya ada yang lain antara surat kali ini dengan surat-surat kemarin. Mungkin karena ada jeda, beberapa waktu sudah kita tak bertukar kabar, juga karena kita tak bertemu muka dalam waktu yang lama. Sangat lama.<br /><br />Semua bisa saja terjadi, bahkan hanya dalam waktu seminggu jika aku mesti membilang rentang waktu. Seminggu bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah peristiwa dapat berjalan dari mula hingga akhir. Dalam kemutakhiran teknologi seperti masa sekarang ini, bila dana memungkinkan, dalam seminggu kamu dapat keliling dunia. Bisa jadi seminggu terakhir kamu mengalami banyak hal yang tak ku ketahui. Aku merasa belum begitu mengenalmu. Selama ini aku sekedar memetakan watakmu dari reaksi-reaksimu dalam menanggapi sesuatu. Itupun hanya ketika aku bersamamu atau ku dapat dari ceritamu. Selebihnya aku tak tahu.<br /><br />Ya, anggaplah aku gundah. Pertama, aku gundah karena (menurutku) kamu berubah. Kedua, aku gundah karena aku menganggap kamu berubah. Selebihnya aku malah berpikiran, hal apa yang kiranya sampai membuatku gundah hanya karena aku berpikiran kamu berubah? Mengapa aku harus gundah? Pertanyaan terus berputar seolah menuntut tersibaknya alasan di balik semua perubahan. Jawaban paling logis dan mampu mewakili kebenaran. Hingga akhirnya di ujung kegundahanku aku bertanya namun bukan pada diri sendiri. Aku bertanya kepadamu, "Aku gundah karena memikirkanmu, tahukah kamu?"<br /><br />Kenyataannya aku gundah karena kebutaanku menutup kemungkinanku menatapmu dan memindaimu dengan jernih. Karena hanya dalam kejernihan aku mampu benar-benar berperan sebagai pribadi lain yang mampu mengerti. Sedang perubahan telah terjadi, juga anggapanmu bahwa perubahanmu ada itu tak lain karena aku, apa lagi yang mesti ku harapkan? Perubahan memang niscaya, ada sebagai bukti gulirnya waktu. Dan aku mesti menerima kenyataan bahwa ia terjadi karena memang harus terjadi.<br /><br />---------<br /><br />Dengan adanya mata kita merasa dapat melihat semuanya. Bagiku tidak, masing-masing dari kita adalah buta, yang kita <span style="font-style:italic;">lihat</span> hanyalah anggapan. Karena mungkin gelap tak berwarna hitam. Bahkan mungkin hitam kita berlainan.</p>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3040753800630457577.post-44906999757119112832008-06-24T01:40:00.003+07:002009-12-28T15:30:32.975+07:00Mula-mula: Tentang Matimuda<p style="text-align: justify;"><span style="line-height: 1.5em;">“Jika hidup ibarat bekerja, kapan hari liburnya?” lalu lahirlah Matimuda. Seperti lelucon memang, sayang kelihatannya agak nggak nyambung. Perihal mana yang menyatukan isyarat istirahat(1) dan Matimuda dalam satu tautan?<br /><br />Bisa jadi awalnya seperti gatal. Gatal di tangan gatal di kaki gatal di kepala gatal di hati. Dan klise sudah, gatal ya digaruk. Lalu sekejap muncul perasaan yang mungkin dirasakan <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Archimedes">Archimides</a> ketika berucap “<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Eureka_(word)">Eureka!</a>”, bedanya waktu itu saya hanya menemukan tangan, kaki, kepala dan hati saya. Ah, mungkin jika Tuhan tak mencipta gatal bisa jadi manusia tak menyadari ia dipinjami piranti. Tuhan memang ajaib. Manusia bisa mati – tidak menyadari (keber-ada-an) diri. Sedang mereka dibebaskan memilih: mencari cara untuk hidup kembali atau diam sama sekali.<br /><br />Dalam tataran simbol mati bisa saja dialihmaknakan sebagai buta hati dan mata tuli. Ia adalah gambaran dari gambaran. Ia hadir sebagai wakil. Mewakili makna dengan makna. Hanya saja kali ini ia disertai rupa: Matimuda. Meski begitu ia tetap bermaknakan sesuatu yang lowong, kosong karena hilang isi. Bucal. Mati. Ya, Matimuda memang lekat dengan kematian. Kematian (batin) yang mengawali dan kematian (nyawa) yang diharapkan.<br /><br />Hanya pengecut yang mengharap mati. Saya pernah mendengar seseorang berkata demikian, dengan analogi bahwa satu-satunya cara untuk meluluskan keinginan mati hanyalah dengan bunuh diri. Sebagai pilihan, kematian jadi berbeda-beda hanya karena soal cara(2). Targetnya nyata: mati, selesai perkara.<br /><br />Kematian itu niscaya. Mau tak mau saya mesti mengakui ia benar. Hanya kepengecutan yang menyebabkan makna Matimuda menyublim jadi sekedar nama blog. Itu pun blog personal yang biasa-biasa saja. Blog yang memuat rengek keluhan sebelum tidur. Hanya saja bukan di situ poinnya.<br /><br />Jadi saya nggak bilang bahwa alasan kenapa saya masih hidup hingga hari ini adalah karena ‘hidup terlalu indah untuk dilewatkan’(3) – atau pikiran-pikiran manipulatif lain yang serupa itu. Keindahan menjadi relatif karena manusia mengindera dan mengapresiasikan sesuatu berdasar persepsi. Ia adalah sesuatu yang absurd.<br /><br />Menjadi sadar bukan dikarenakan adanya keharusan: konsekwensi menjadi makhluk adalah menghargai kehebatan Tuhan dalam mencipta. Bukan pada soal keanekaragaman bentuk lalu warna menjadi krusial. Melainkan lebih pada pemaknaan bahwa ‘tanpa cahaya warna bukan siapa-siapa’ karena kondisi tanpa cahaya menyebabkan bentuk tak tertangkap mata. Kesadaran bagi saya adalah sejauh mana kemampuan melihat dan mengidentifikasi objek dalam kondisi tanpa cahaya. Tak lain karena setiap manusia terlahir buta.<br /><br />Ya, itu proses, bisa dibilang setiap manusia adalah ilmuwan dengan kehidupannya sendiri sebagai objek eksperimennya. Menariknya hidup karena di dalamnya tersimpan pilihan. Kesadaran juga bukan soal imbalan apa yang diperoleh nantinya, di depan sana tak ada surga. Surga hanya fatamorgana.<br /><br />Menilik pertanyaan di awal tadi, kenyataannya saat ini saya memang mengharap hari libur. Jeda yang mutlak saya perlukan karena manipulasi tak lagi mempan mengaburkan kenyataan. Dan Matimuda lalu meng-ada jadi persinggahan (walau tak sepenuhnya sekedar persinggahan). Seperti mogadon, untuk mengobati kejenuhan atas dunia nyata yang omni identitas.<br /><br />Matimuda adalah jeda namun bukan koma. Garis yang belum saya tentukan di mana hentinya karena kematian yang sebenarnya bisa datang kapan saja. Ia tak perlu huruf dan kosakata untuk menyublimkannya sehingga mampu dieja karena ia memang lahir begitu saja.<br /><br /><br />------<br />(1) Meminjam istilah yang digunakan eL di <a href="http://dangauilalang.blogspot.com/">dangauilalang</a><br />(2) Mengadopsi kuotasi “Death is always the same, but each man dies in his own way.”<br />Clock Without Hands | <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Carson_McCullers">Carson McCullers</a><br />(3) “We live in a beautiful world..” Don’t Panic | <a href="http://www.coldplay.com/">Coldplay</a></span></p>Unknownnoreply@blogger.com2