Solilokui Paruh Desember

Life is one long process of getting tired.
Samuel Butler


: untuk kawan baik.

Berbulan sudah sejak terakhir kita bertemu. Lewat surat atau apalah, asal kabarku dapat kau baca dan selama kita dapat saling bertukar, itu tak apa. Aku masih ingat katamu ketika aku mesti pergi meninggalkan Solo menuju barat, bahwa karib akan selamanya menjadi karib, meski ada jarak ada rintang, semua bukan persoalan. Persoalan hanyalah anggapan yang sebenarnya tak benar ada. Menjadi nyata karena beda. Menjadi runcing karena terlalu sering didebatkan di mana letak keberbedaannya.

Kamu bilang manusia akan semakin lekat dengan sendiri seiring usianya bertambah. Seperti kutukan tiap manusia dipaksa mesti dewasa. Tunduk pada waktu, sekaligus memimpikan waktu di luar masa di mana ia mestinya terlibat. Seperti ketika kecil aku ingin menjadi seperti ayahku atau kamu yang ingin seperti ibumu, dan apakah kau dapat yakin ketika tua kita tak memimpikan masa muda? Menghitung-hitung berapa kesempatan yang sudah terlewat. Mestinya waktu itu aku, mestinya waktu itu tak seperti itu.

Cuma kamu yang bilang tak sepatutnya kita merasa sebagai korban. Tak setiap hal berjalan linier sesuai kendali dan ekspektasi bisa saja meleset jauh dari kenyataan. Persoalannya adalah apa yang mesti dilakukan setelah itu, yaa, seperti kemarin kita berbincang rencana apa di tahun berikut. Apapun itu, apapun yang sudah terjadi hingga hari ini, bersemangatlah, mari tersenyum dan semoga kita masih dapat menghirup udara bulan Januari. Hidup yang ringan. Menyenangkan, bukan?

Kadang ketika mengenang itu aku berpikir, jika hidup ibarat tamasya maka kita bepergian ke arah mana. Ia mestinya punya tujuan, dan kita: yang merencanakan, mestinya mengayuh penuh tekad demi apa yang kita tuju. Walau kalau dipikir ketika mata dan laku hanya tertambat pada satu titik berapa banyak sudah yang dikorbankan? Tak terbayangkan, mungkin. Pilihanlah yang kadang membuat segalanya tampak rumit, walau kadang sebaliknya. Lagipula, kamu hanya perlu memilih. Selebihnya biarkan akibat bekerja. Resiko ada semutlak hubungan manusia dengan O2. Kamu cuma perlu tahu apa saja konsekuensinya. Kuasa perusahaan asuransi tak melingkupi hingga sedetil ini, bukan?

Haha, mestinya aku menyebut rencanamu juga ya? Menjadi guru, terutama bagi anak-anak asuhmu. Walau aku paham betul kamu bukan tipe orang yang tinggal diam melihat kondisi pendidikan di Indonesia sekarang, namun mimpi itu, masihkah? Bagiku itu mulia, dan tak banyak orang memimpikan sesuatu semulia itu. Kita bukan korban peradaban. Ya, kita bukan korban. Meski sepertinya aku mesti mengganti pendapatku yang pernah kulontarkan kepadamu satu waktu. Ternyata hidup tak sama dengan cuaca: yang dapat, namun sulit ditebak. Hidup tak dapat ditebak.

Masih ingatkah kamu perihal konsepsi tentang korban yang pernah kita bicarakan? Bahwa manusia adalah sekedar korban, dikutuk untuk hidup, bebas namun terpenjara oleh waktu yang gerogoti tubuh, digerogoti ingatan akan waktu yang bersenyawa dengan peristiwa. Aku cuma tertawa mengenangnya. Lihat, bahkan ketika akhirnya peristiwa menyublim kenangan ia melebur menjadi memorabilia. Barisan kata-kata dan imaji dalam kepala. Seperti kamu, aku tak mempunyai kata yang tepat untuk mengganti kata ‘mengetahui’, karena toh sebanyak apapun kita mengetahui itu tak lebih sebagai proses pencarian dan lalu menemukan sesuatu dalam memori.

Memori tak punya denyut, ia tak punya rasa meski melibatkan rasa. Ingatan adalah ingatan, kita mesti menyisakan kekinian untuk mengenangnya.

Nah, bisa dibilang aku tak ingin menjadikan kesendirian akutku sebagai alasan untuk menghubungimu lagi. Terserah kau bilang aku terlalu angkuh atau apa, bahkan sekedar untuk mengakui. Pernah terakhir kamu menanggapi marahku hanya dengan satu kalimat tanya: jadi ini hanya soal harga diri? Mungkin, namun bisa saja bukan. Cuma saat ini aku sedang tak ingin terlalu berterus terang.

Tidak sayang, tidak. Maaf sudah membuatmu tak terlibat dalam hidupku terlalu lama karena mestinya aku melibatkanmu juga. Ya, meski kita sekedar dua beda yang berpapasan (dan lalu pernah beriringan) di satu jalan, kamu selalu berarti. Kamu akan selalu berarti. Dan keberartian bagiku sebenarnya simpel, aku mengingatmu sebagai seseorang yang mau terkapar di sampingku berbagi kopi berdiskusi hingga pagi. Hingga kita berdua tak ubahnya seperti dua suara parau tertawa-tawa karena pekat gemulung asap. Ketahuilah temanku, di setiap perbincangan semacam itu banyak kalimatmu yang selalu aku iyakan. Kamu tahu aku memang tak banyak belajar. Memoriku pendek. Dan kamu hampir terdengar selalu benar. Di situlah kamu berada. Tak terlalu keren, memang, tapi sebagai substansi, di hidupku kamu memang hampir selalu ada. Terlibat sebagai bayang. Ketika tubuhmu tak ada, kamu memang tak ada, namun ya, kamu ada.

Lagipula aku tak ingin terdengar terlalu mengiba. Ironi keputusasaan a la Matimuda yang membilang bahwa ‘mati adalah soal cara’. Aku tak peduli prosesi matiku tak sekeren lelaki yang berjalan lurus menuju samudera, Polyester Embassy di telinganya, mati dengan takzim karena memang telah pungkas: hidup yang terlalu ramai tak perlu dirayakan karena toh di satu waktu setiap orang akan menemui ajal. Yang penting adalah masa sekarang: bermanfaatkah?

Dan di antara deru kereta ekonomi menuju Jakarta di pertengahan Desember ini tubuhku bergetar. Malam gelap sudah. Ramai memang, namun sebingar apapun suara akan selalu terdengar sunyi bagi hati yang masih memiliki terlalu banyak ruang untuk kenangan. Dan bermasalah dengan kenangan itu menjengkelkan. Jika saja kenangan terbuat dari api, seperti katamu, tinggal guyur air maka mati. Sayang tak semudah itu.

Ah, sudahlah. Yang penting beberapa saat ke depan kamu dapat mengeja senyumku. Tak lagi meraba dalam mimpi seperti kemarin ketika jarak memaksa kita menghirup udara yang berbeda. Sejauh dan sebanyak apa aku bicara sekarang, ah, kau sudah menebakku begitu tepat karena memang begitu adanya. Seperti sms-mu beberapa hari lalu: “aku cuma butuh teman bicara.”

Ya, aku butuh teman bicara. Yang sebenar teman bicara. Ternyata kita sama.

Ah! Aku tak sabar. Kawan, sampai jumpa!